Headlines News :

Latest Post

Showing posts with label Adat Istiadat Jawa. Show all posts
Showing posts with label Adat Istiadat Jawa. Show all posts

Bangunan Adat Rumah Jawa

Written By Paknetyas on Saturday, September 20, 2014 | 11:33 PM

           Bangunan adat rumah jawa
Bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam, yaitu: panggung pe, kampung, limasan, joglo dan tajug. Namun dalam perkembangannya, jenis tersebut berkembang menjadi berbagai jenis bangunan rumah adat Jawa, hanya bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar bangunan yang lima tersebut (Narpawandawa, 1937-1938).
Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut juga ditentukan ukuran, kondisi perawatan rumah, kerangka, dan ruang-ruang di dalam rumah serta situasi di sekeliling rumah, yang dikaitkan dengan status pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya ikut berperanan. Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka sebelum membuat rumah di’petang’ (diperhitungkan) dahulu tentang waktu, letak, arah, cetak pintu utama rumah, letang pintu pekarangan, kernagka rumah, ukuran dan bengunan rumah yang akan dibuat, dan sebagainya. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa, setiap akan membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu bensa-benda tertentu yang disajikan untuk badan halus, danghyang desa, kumulan desa dan sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatan (R. Tanaya, 1984:66-78).
Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai dengan kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka terdapatlah bangunan rumah adat Jawa sebagai berikut.
 
Bangunan model/bentuk Panggung Pe dalam perkembangannya terdapat bangunan Panggung Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong Setangkep, Cere Gancet, Empyak Setangkep, Trajumas, Barongan, dan sebagainya. Dari bangunan rumah kampung berkembang menjadi bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak, Klabang Nyander, Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Jerum, Cere Gancet Semar Tinnadhu, Cere Gancet Semar Pinondhong, dan sebagainya. Dari bangunan Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk rumah Limasan Lawakan, Gajah Ngombe, Gajah Jerum, Klabag Nyonder, Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan, Apitan, Pacul Gowang,  Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Trajrumas Rambang Gantung, Lambangsari, Sinom Lambang Gantung Rangka Usuk Ngambang, dan sebagainya. Dari perkembangan bangunan rumah Joglo terdapatlah bangunan rumah Joglo, Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo Jampongan, Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo Semar Tinandhu, dan sebagainya. Dari jenis tajug dalam perkembangannya terdapatlah bangunan rumah tajug (biasa untuk rumah ibadah), tajug lawakan lambang teplok, tajug semar tinandhu, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambang gantung, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambnag gantung, tajug mangkurat, tajug ceblakan, dan sebagainya (Narpawandawa 1936-1936).
Disamping bentuk bangunan rumah baku tersebut, masih terdapat bangunan rumah untuk musyawarah (rapat), rumah tempat menyimpan padi (lumbung) atau binatang ternak (kandang, gedhongan, kombong), untuk alat-alat (gudang) dan sebagainya (Gatut Murdiatmo, 1979/1980; Koentjaraningrat, 1971; almanak Narpawandawa, 1935-1938; Sugiyanto Dakung, 1982/1982; Radjiman, 1986.
 Komposisi dan Lingkungan Rumah Tempat Tinggal
Yang dimaksudkan dengan komposisi rumah ialah susunan dan pengaturan cetak bangunan lain terhadap bangunan rumah tempat tinggal (induk). Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan di sini ialah rumah tempat tinggal dan rumah-rumah kelengkapan dengan tata susunannya dalam suatu rumah tangga sebuah keluarga
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri dari beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur, istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan lain dai keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendhapa, terletak di depan rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah mburi) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan. Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Dalam pertunjukan tersebut tamu laki-laki ditempatkan di pendapa, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah belakang. Susunan rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa, misalnya Istana Ratu Boko di dekat Prambanan.

Bagi warga masyarakat umum yang mampu, disamping bangunan rumah tersebut, tempat tinggalnya (rumah) masih dilengkapi dengan bangunan lainnya, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan Pringgitan. Letaknya agak berjauhan. Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah belakang (omah buri), tempat memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang, untuk tempat binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik,ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda disebut gedhongan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh halaman yang luas. Gedhongan biasanya menyambung ke kiri atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah kiri agak jauh dari pendhapa.

Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa.
Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian pula tempat buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan pendhapa. Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.
Demikian sedikit variasi bangun rumah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah keluarga. Hal tersebut sangat bergantung pada kemampuan keluarga. Secara lengkap kompleks rumah tempat tinggal orang Jawa adala rumah belakang, pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para pelayan), lumbung, kandhang, gedhogan, dapur, pringgitan, topengan, serambi, bangsal, dan sebagainya. Jaman dahulu besar kecilnya maupun jenis bangunannya dibuat menurut selera serta  status sosial pemiliknya didalam masyarakat
Masyarakat Jawa lama disusun atas dasar kedudukan sosial, teritorial, komunal, dan religius. Dasar tersebut dalam proses pembentukan masyarakat Jawa akan terpancar dalam ciri-ciri dasar masyarakat Jawa yang tetap mereka pertahankan dan mereka lestarikan keberadaannya dalam wujud pandangan dunia orang Jawa. Pandangan dunia dimaksudkan sebagai keseluruhan keyakina deskriptif tentang kenyataan suatu kesatuan antara alam, masyarakat, dan alam gaib, yang daripada Nya manusia berusaha memberi suatu struktur yang bermakna bagi pengalamannya. 
 
Bagi orang Jawa, baik sebagai individual maupun anggota masyarakat, realita itu tidak dibagi-bagi secara terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sam lain, melainkan ia dilihat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.
Bagi orang jawa dunia masyarakat dan dunia gaib, atau dunia Adi Kodrati bukanlah tiga bidang yang berdiri sendiri-sendiri, dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan pengalaman. Pada hakekatnya, orang Jawa tidak membedakan antara sikap religius atau tidak religius dan interaksi-interaksi sosial religius, tetapi tetapi ketiganya merupakan penjabaran manusia Jawa tentang sikapnya terhadap alam, seperti halnya sikap alam yang sekaligus mempunyai relevansi sosial. Di sini antara pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada perbedaan yang hakiki (Mulder, 1975:36).
 
Tolok ukur anti pandangan dunia orang Jawa adalah nilai pragmatisme atau kemanfaatannya untuk mencapai keadaan senang, tenteram dan seimbang lahir dan batin antara dunia sini dengan dunia sana. Oleh karena itu, apabila kita membicarakan pandangan dunia orang Jawa tidak terbatas pada bidang agama, kepercayaan dan mitos, melainkan juga sistem pertanian, perayaan pameran, kehidupan keluarga Jawa, seni dan budaya Jawa, sistem tempat tinggal dan lingkungan tempat tinggal mereka. Maka perubahan yang terjadi akan meliputi pandangan hidup dan filsafat, budaya politik Jawa, ekonomi, sosial dan budaya Jawa. Dalam hal ini Clifford Geertz telah mengungkapkannya sebagai agama Jawa dala bentuk varian santri, abangan dan priyayi dalam masyarakat Jawa (Cl. Geertz 1985). Sedangkan Magnis Suseno (1885: 83-85), mengutarakan, terdapat empat lingkaran bermakna dalam pandangan dunia orang jawa, yaitu :
Lingkaran Pertama, lebih bersifat ekstrovet, ialah bersifat terhadap dunia luar yang dialami sebagai satu kesatuan gaib yang Illahi, yang Adi Kodrati antara alam, masyarakat, dan alam adi kodrati yang kudus yang dilaksanakan dalambentuk ritus, dan upacara-upacara inisiasi yang diterima tanpa kritik dan tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri. Orang Jawa mengatakan: “bisoa ngaji, nanging aja dadi modin”. Meksud pernyataan itu ialah bahwa agama merupakan alat untuk mencapai tujuan. Tujuan akhir hidup manusia adalah manunggal dengan sang Pencipta, Al Kholik. 
 
Type dan sub type Joglo :
1. Tawon Goni
2. Ceblokan
3. Jompongan
4. Pangrawit
a. Hageng
b. Lambang Gantung
c. Mangkurat
5. Lambang sari
6. Kepuhan
a. Lawakan
b. Limolasan
c. Kepuhan Apitan
7. Apitan
8. Wantah
9. Sinom
10. Trajumas

Type dan sub type Tajug / Masdjid
1. Tawon Goni
2. Ceblokan
3. Lawakan
4. Lambang
5. Semar
Type dan sub type Limasan
1. Enom
2. Ceblokan
3.Cere Gancet
4. Gotong Mayit
5.Semar
6. Empyak Setangkep
7.Bapangan
8.Klabang Nyander
9.Trajumas
10.Lambang
11.Sinom
12. Apitan

Type dan sub type Panggang Pe
1. Pokok
2.Trajumas
3.Kios
4.Gedhang
5.Cere Gancet
6.Empyak Setangkep
7.Barengan
Type dan sub type Kampung
1. Pokok
2.Trajumas
3.Gedhang Selirang
4.Sinom
5.Apitan
6.Gajah
7.Gotong Mayit
8.Cere Gancet
9.Dara Gepak
10.Baya Mangap
11.Pacul Gowang
12.Srontongan
13.Klabang Nyander
14.Jompongan
15.Semar
16. Lambang Teplok

wadag
wadeging warangka
jabaring wadi
playune cedak tuwa
olah raga gegondele
 
 
 

UPACARA PENGANTIN ADAT JAWA

Written By Paknetyas on Thursday, June 27, 2013 | 3:49 PM



A.     KRONOLOGIS 
 Kronologis ketemu jodoh  pada orang  Jawa  dahulu ,biasanya melalui cara yang disebut :
  1. Babat alas artinya membuka hutan untuk merintis membuat lahan. Dalam hal babat alas ini orangtua pemuda merintis seorang congkok untuk mengetahui apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah umumnya disebut nakokake artinya menanyakan
  2. Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis, maka adanya upacara nontoni Yaitu sang pemuda diajak keluarganya datang ke rumah sang gadis, pada saat pemuda pemuda itu diajak/ diberi kesempatan untuk nontoni sang gadis pilihan orang tuanya 
  3. Bila cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara nglamar atau meminang. Dalam upacara nglamar, keluarga pihak sang pemuda menyerahkan barang kepada pihak sang gadis sebagai peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya sandangan sapangadek. 
  4. Menjelang hari perkawinan diadakan upacara srah-srahan atau asok tukon yaitu pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah perkawinan kepada keluarga pihak calon pengantin putri berupa hasil bumi, alat-alat rumah tangga, ternak dan kadang-kadang ditambah sejumlah uang.
  5. Kira-kira 7 hari (dulu 40 hari) sebelum hari pernikahan calon pengantin putri dipingit artinya tidak boleh keluar dari rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon suaminya. Selama masa pingitan calon pengantin putri membersihkan diri dengan mandi kramas dan badannya diberi lulur.
  6. Sehari atau dua hari sebelum upacara akad nikah di rumah orangtua calon pengantin putri membuat tratag dan menghias rumah. Kesibukan tersebut biasanya juga dinamakan upacara pasang tarub 
  7. Upacara siraman yaitu memandikan calon pengantin putri dengan kembang telon yaitu bunga mawar, melati dan kenanga dan selanjutnya disusul dengan upacara ngerik. Upacara ngerik yaitu membersihkan bulu-bulu rambut yang terdapat di dahi, kuduk, tengkuk dan di pipi. 
  8. Setelah upacara ngerik, maka pada malam hari diadakan upacara malam Midodareni. Calon pengantin putra datang ke rumah pengantin putri dan selanjutnya calon pengantin putra menjalani upacara nyantri. 
  9. Pada pagi harinya atau sore harinya dilangsungkan upacara ijab kabul yaitu meresmikan kedua insan antara pria dan wanita yang memadu kasih telah sah menjadi suami istri. 
  10. Sehabis upacara ijab kabul dilangsungkan upacara panggih atau temon yaitu pengantin putra dan pengantin putri ditemukan yang berakhir duduk bersanding di pelaminan. 
  11. Lima hari setelah akad nikah dan upacara panggih diadakan upacara sepasaran pengantin atau ngunduh mantu apabila disertai dengan pesta. 

B.     RANGKAIAN UPACARA ADAT PENGANTIN JAWA 
Rangkaian upacara adat pengantin Jawa secara kronologis diuraikan dari awal sampai akhir sebagai berikut :
  1. Upacara siraman pengantin putra-putri 
  2. Upacara malam midodareni 
  3. Upacara akad nikah / ijab kabul 
  4. Upacara panggih / temu 
  5. Upacara resepsi 
  6. Upacara sesudah pernikahan 

Makna rangkaian upacara tersebut secara perinci dapat dijelaskan sebagai berikut : 

1. Upacara Siraman Pengantin Putra-putri

Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah (ijab kabul). Akad nikah dilangsungkan secara/menurut agama masing-masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara adat. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan pada upacara siraman adalah :


  • Siraman Pengantin PutriPengantin putri pada upacara siraman sebaiknya mengenakan kain dengan motif Grompol yang dirangkapi dengan kain mori putih bersih sepanjang dua meter dan pengantin putri rambutnya terurai.

    Yang bertugas menyiram pengantin putri adalah :
    Bapak dan Ibu pengantin putri, disusul Bapak dan Ibu pengantin putra, diteruskan oleh orang-orang tua serta keluarga yang dianggap telah pantas sebagai teladan. Siraman ini dilanjutkan dan diakhiri juru rias dan paling akhir adalah dilakukan oleh pengantin sendiri, sebaiknya pergunakan air hangat agar pengantin yang disirami tidak masuk angin.


  • Siraman Pengantin Putra
    Urut-urutan upacara siraman pengantin putra adalah sama seperti sirama pengantin putri hanya yang menyiram pertama adalah Bapak pengantin putra.

    Setelah upacara siraman pengantin selesai, maka pengantin putra ke tempat pemondokan yang tidak jauh dari tempat kediaman pengantin putri. Dalam hal ini pengantin putra belum diizinkan tinggal serumah dengan pengantin putri. Sedangkan pengantin putri setelah siraman berganti busana dengan busana kerik, yaitu pengantin putri akan dipotong rambut bagian depan pada dahi secara merata.

     
2.  Upacara Midodareni 

Dalam upacara midodareni pengantin putri mengenakan busana polos artinya dilarang mengenakan perhiasan apa-pun kecuali cincin kawin. Dalam malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra datang ke rumah pengantin putri. Untuk model Yogyakarta pengantin putra mengenakan busana kasatrian yaitu baju surjan,blangkon model Yogyakarta, kalung korset, mengenakan keris, sedangkan model Surakarta, pengantin putra mengenakan busana Pangeran yaitu mengenakan jas beskap, kalung korset dan mengenakan keris pula. Untuk  mempermudah maka pengantin putra pada waktu malam midodareni boleh juga mengenakan jas lengkap dengan mengenakan dasi asal jangan dasi kupu-kupu. Kira-kira pukul 19:00, pengantin putra datang ke rumah pengantin putri untuk berkenalan dengan keluarga dan rekan-rekan pengantin putri. Setibanya pengantin putra, maka terus diserahkan kepada Bapak dan Ibu pengantin putri. Setelah penyerahan diterima pengantin putra diantarkan ke pondok yang telah disediakan yang jaraknya tidak begitu berjauhan dengan rumah pengantin putri. Pondokan telah disediakan makanan dan minuman sekedarnya dan setelah makan dan minum ala kadarnya maka pengantin putra menuju ke tempat pengantin putri untuk menemui para tamu secukupnya kemudia pengantin putra kembali ke pondokan untuk beristirahat. Jadi jangan sampai jauh malam, karena menjaga kondisi fisik seterusnya. Jadi kira-kira pukul 22:00 harus sudah kembali ke pondokan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian sepenuhnya agar jangan sampai pengantin menjadi sangat lelah karena kurang tidur. Setelah upacara malam midodareni ini masih disusul dengan upacara-upacara lainnya yang kesemuanya itu cukup melelahkan kedua pengantin.

Pada malam midodareni pengantin putri tetap di dalam kamar pengantin dan setelah pukul 24:00 baru diperbolehkan tidur. Pada malam midodareni ini para tamu biasanya berpasangan suami istri. Keadaan malam midodareni harus cukup tenang dan suasana khidmat, tidajk terdengar percakapan-percakapan yang terlalu keras.


Para tamu bercakap-cakap dengan tamu lain yang berdekatan saja. Pada pukul 22:00 - 24:00 para tamu diberikan hidangan makan dan sedapat mungkin nasi dengan lauk-pauk opor ayam dan telur ayam kampung, ditambah dengan lalapan daun kemangi.
     
Perlengkapan yang diperlukan untuk upacara panggih :

  1. Empat sindur untuk dipakai oleh kedua belah orang tua
  2. Empat meter kain mori putih yang dibagi menjadi dua bagian masing-masing dua meter
  3. Dua lembar tikar yang akan dipergunakan untuk duduk pengantin putri pada waktu di rias
  4. Dua buah kendhi untuk siraman pengantin putra-putri
  5. Dua butir kelapa gading yang masih utuh dan masih pada tangkainya
  6. Sebutir telur ayam kampung yang masih mentah dan baru
  7. Sebungkus bunga setaman
  8. Satu buah baskom / pengaron yang telah ada air serta gayungnya untuk upacara membasuh kaki pengantin putra
  9. Dua helai kain sindur dengan bentuk segi empat digunakan pada upacara tanpa kaya atau kantongan yang terbuat dari kain apa saja.
  10. Daham klimah yaitu upacara makan bersama-sama (dulangan) atau suap-suapan pengantin putri menyuapi pengantin putra dan sebaliknya
  11. Dahar klimah, pada upacara dahar klimah makanan yang perlu disiapkan adalah : nasi kuning ditaburi bawang merah yang telah digoreng dan opor ayam. Pada upacara tanpa kaya yang perlu disediakan ialah : kantongan yang berisi uang logam, beras, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, jagung dan lain-lain.

Upacara Akad Nikah
     
Upacara akad nikah dilaksanakan menurut agamanya masing-masing. Dalam hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara selanjutnya. Bagi pemeluk agama Islam akad nikah dapat dilangsungkan di masjid atau mendatangkan Penghulu. Setelah akad nikah diberikan petunjuk sebagai berikut : Setelah upacara akad nikah selesai,pengantin putra tetap menunggu di luar untuk upacara selanjutnya. Yang perlu mendapatkan perhatian ialah selama upacara akad nikah pengantin putra boleh mengenakan keris (keris harus dicabut terlebih dahulu) dan kain yang dopakai oleh kedua pengantin tidak boleh bermotif hewan begitu pula blangkon yang dipakai pengantin putra. Bagi pemeluk agama Katholik atau Kristen akad nikah dilangsungkan di gereja. Untuk pemeluk agama Katholik dinamakan menerima Sakramen Ijab, baik agama Islam maupun Katholik atau Kristen pelaksanaan akad nikah harus didahulukan dan setelah selesai Ijab Kabul barulah upacara adat dapat dilangsungkan.


Upacara Panggih
Bagian I
Upacara balangan sedah / lempar sirih yaitu pengantin putra dan pengantin  putri saling melempar sirih, setelah itu disusul dengan berjabat tangan tanda saling mengenal.
     
Bagian II
Upacara Wiji Dadi
Sebelum pengantin putra menginjak telur, pengantin putri membasuh terlebih dahulu kedua kaki pengantin putra.

Bagian III
Upacara sindur binayang yaitu pasangan pengantin berjalan dibelakang ayah pengantin putri, sedangkan ibu pengantin putri dibelakangnya pengantin tersebut. Hal ini mempunyai makna Bapak selalu membimbing putra-putrinya menuju kebahagiaan, sedangkan Ibu memberikan dorongan “tut wuri handayani”

Bagian IV
Timbang (Pangkon) dan disusul upacara tanem
Upacara tanem yaitu Bapak pengantin putri mempersilahkan duduk kedua pengantin di pelaminan yang bermakna bahwa Bapak telah merestui dan mengesahkan kedua pengantin menjadi suami istri.
     
Bagian V
Upacara tukar kalpika yang disebut juga tukar cincin yaitu memindahkan dari jari manis kiri ke jari manis kanan dan dilaksanakan saling memindahkan. Hal ini mempunyai makna bahwa suami istri telah memadu kasih sayang untuk mencapai hidup bahagia sepanjang hidup.
   
Bagian VI
Kacar-kucur (tanpa kaya)
Upacara  kacar-kucur atau disebut guna kaya yang bermakna bahwa hasil jerih payah sang suami diperuntukkan kepada sang istri untuk kebutuhan keluarga.
     
Bagian VII
Kembul Dhahar “ Sekul Walimah “
Upacara kembul dhahar yaitu kedua pengantin saling suap-suapan secara lahap. Hal ini bermakna bahwa hasil jerih payah dan rejeki yang diterimanya adalah berkat Rahmat Tuhan dan untuk mencukupi keluarganya. Segala suka dan duka harus dipikul bersama-sama.
     
Bagian VIII
Pengantin putra dengan sabar menunggu pengantin putri menghabiskan Dhaharan.Biasanya Ibu lebih sayang untuk membuang makanan. Hal ini bermakna agar Tuhan selalu memberikan rezeki dan selalu mensyukuri rezeki yang diterimanya.
     
Bagian IX
Upacara Mertuwi
Bapak dan Ibu pengantin putra datang dijemput oleh Bapak dan Ibu pengantin putri untuk menjenguk pengesahan perkawinan putrinya. Setelah dipersilahkan duduk  oleh Bapak dan Ibu pengantin putri lalu dilangsungkan upacara sungkeman. Apabila   Ayah atau Bapak pengantin putra telah meninggal dunia, maka sebagai gantinya   yaitu kakak pengantin putra atau pamannya.
     
Bagian X
Upacara Sungkeman
Upacara sungkeman / Ngebekten yaitu kedua pengantin berlutut untuk menyembah  kepada Bapak dan Ibu dari kedua pengantin. Dalam hal ini bermakna bahwa kedua pengantin tetap berbakti kepada Bapak / Ibu pengantin, serta mohon doa restu agar Tuhan selalu memberikan rahmatnya.

ADAT ISTIADAT JAWA

Written By Paknetyas on Friday, June 14, 2013 | 1:10 PM

ADAT ISTIADAT JAWA
(manusia Jawa sejak dalam kandungan sampai wafat)
________________________________________
Wus pinasti wanito puniki,Dadi wadah wijining tumitah,Den aji aji wajibe
Watak suwargo nunut,Nunut iku gese njalari,Dadyo nomo suwargo
Yen tetesing luhur,Winastono neroko
Lamun hamadhani asor asorin budi,wiji haneng poro prio


Lahir dan mendewasakan anak

Mupu, artinya mungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan hamilnya si Ibu yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum mempunyai anak juga atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga), agar diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.

Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak, diusahakan agar mencari pisang raja sesisir yang buahnya hanya satu, sebab menurut gugon tuhon (takhayul yang berlaku) jika pisang ini dimakan akan nuwuhaken (menyebabkan) jadinya anak pada wanita yang memakannya. Hingga, bisa dimungkinkan hamil, dan tidak harus memungut anak.

Pada saat si Ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya, disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, dan demikian sebaliknya jika anaknya perempuan.

Sedangkan di saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan, diadakan hajatan nujuhbulan atau mitoni. Disiapkanlah sebuah kelapa gading yang digambari wayang dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih(supaya si bayi seperti Kamajaya jika laki-laki dan seperti Kamaratih jika perempuan), kluban/gudangan/uraban (taoge, kacang panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan lauk tambahan lainnya untuk makan nasi),dan rujak buah.

Disaat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti laki-laki. Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-nendang, maka itu tanda bayi laki-laki. Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului Ibu tertua, dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali. Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi diperkirakan laki-laki.

Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada Tuhan.


Slametan pertama berhubung lahirnya bayi dinamakan brokohan, yang terdiri dari nasi tumpeng dikitari uraban berbumbu pedas tanda si bayi laki-laki) dan ikan asin goreng tepung, jajanan pasar berupa ubi rebus, singkong, jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih, sayur lodeh kluwih/timbul agar linuwih (kalau sudah besar terpandang). Ketika bayi berusia 5 (lima) hari dilakukan slametan sepasaran, dengan jenis makanan sama dengan brokohan. Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi di potong sedikit dengan gunting dan bayi diberi nama, misalnya bernama T. Dewantoro.
Saat diteliti di almanak Jawa tentang wukunya, ternyata T. Dewantoro berwuku tolu, yakni wuku ke-5 dari rangkaian wuku yang berjumlah 30 (tiga puluh). Menurut wuku tolu maka T.Dewantoro berdewa Batara Bayu, ramah-tamah walau bisa berkeras hati, berpandangan luas,cekatan dalam menjalankan tugas serta ahli di bidang pekerjaannya, kuat bergadang hingga pagi, pemberani, banyak rejekinya, dermawan, terkadang suka pujian dan sanjungan yang berhubungan dengan kekayaannya.
 
Slametan selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang pada pokoknya sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi dipotong habis, maksudnya agar rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap 35 (tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara peringatan yang sama saja dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng dengan irisan telur ayam rebus dan bubur merah-putih.

Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke atas tanah. Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera. Jika bayinya laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan menjadi pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung emas maka ia akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon tebu untuk dinaiki si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.

Setelah si anak berusia menjelang sewindu atau 8 (delapan) tahun, belum juga mempunyai adik, maka perlu dilakukan upacara mengadakan wayang kulit yang biasa acara semacam ini dinamakan ngruwat agar bebas dari marabahaya Biasanya tentang cerita Kresno Gugah yang dilanjutkan dengan cerita Murwakala.

Saat menjelang remaja, tiba waktunya ditetaki/khitan/sunat. Setibanya di tempat sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si anak ke dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat : laramu tak sandang kabeh (sakitmu saya tanggung semua).
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun. Peristiwa ini dinamakan windon, dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8 (delapan) telur ayam rebus sebagai lambang usia. Tapi peringatan harus dilakukan sehari atau 2 (dua) hari setelah hari kelahiran, yang diyakini agar usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan 2 (dua) windu, si anak sudah dianggap remaja/perjaka atau jaka,suaranya ngagor-agori (memberat). Saat berusia 32 (tiga puluh dua ) tahun yang biasanya sudah kawin dan mempunyai anak, hari lahirnya dirayakan karena ia sudah hidup selama 4 (empat) windu, maka acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun kecil). Sedangkan ulang tahun yang ke 62 (enam puluh dua) tahun disebut tumbuk ageng.

Saat dewasa, banyak congkok atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang membawa cerita dan foto gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai banyak pertimbangan yang antara lain: jangan mbokongi (menulang-punggungi sebab keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes karena perlu mikir praja (gengsi), jangan kawin dengan sanak-famili walau untuk nggatuake balung apisah(menghubungkan kembali tulang-tulang terpisah/mempererat persaudaraan) dan bergaya priyayi karena seandainya cerai bisa terjadi pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro (bangsawan) tapi jangan terlalu tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara dengan si anak serta sederhana dan menarik hati. Lagi pula si laki-laki sebaiknya harus gandrung kapirangu (tergila-gila/cinta).

Melamar
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan. Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup.
Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen.

Perkawinan
Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pada pihak wanitanya, sedangkan pihak laki-laki biasanya cukup memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan, di luar terkadang ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh (acara setelah perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki, walau biasanya sederhana.

Dalam perkawinan harus dicari hari "baik", maka perlu dimintakan pertimbangan dari ahli hitungan hari "baik" berdasarkan patokan Primbon Jawa. Setelah diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad nikah, secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan istilah diulik, yaitu mulai dengan pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam posisi tepat agar dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh keturunan, sampai dengan minum jamu Jawa yang akan membikin tubuh ideal dan singset.

Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan takhayul) dan biasanya di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an), dari bahan bambu serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di masa sekarang diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang tarub dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya sebagai simbolis berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan dibawah genting. Dalam upacara pasang tarub yang terpenting adalah sesaji. Sebelum pasang tarub harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 - 9 orang). Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di rumah ini selamat, yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang setaman, bunga rampai di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur dan pendaringan (tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan jembatan paling dekat dengan rumah. Diletakkan pula sesaji satu ekor ayam panggang di atas genting rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi janur, di depan pintu masuk di pasang batang-batang tebu, daun alang-alang dan opo-opo, daun beringin dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu acara berlangsung. Di kiri kanan pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan pohon pisang raja lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.

Siraman (pemandian) dilakukan sehari sebelum akad nikah, dilakukan oleh Ibu-ibu yang sudah berumur serta sudah mantu dan atau lebih bagus lagi jika sudah sukses dalam hidup, disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air bunga seraya ucapan "semoga selamat di dalam hidupnya". Seusai upacara siraman, makan bersama berupa nasi dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge serta irisan kol dan kacang panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan tempe busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan, salam, laos serta daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan krupuk kulit), dengan pelengkap sosis dan krupuk udang.

Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalab timun dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus sesuai sangat (waktu/saat yang baik yang telah dihitung berdasarkan Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak memakai subang/giwang (untuk memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa ngentasake/mengawinkan anak, yang sekarang jarang diindahkan yang mungkin karena malu). Biasanya acara di pagi hari, sehingga harus disediakan kopi susu dan sepotong kue serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan potongan kol, wortel, buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis. Disaat sedang sarapan, Penghulu beserta stafnya datang, ikut sarapan dan setelah selesai langsung dilakukan upacara akad nikah.

Walau akad nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam kenyataannya masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara temu, yang terkadang menganggap sebagai bagian terpenting dari perayaan perkawinan. Padahal sebetulnya peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin kawin, yang setelah itu Penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah upacara adat dan bisa berbeda walau tak seberapa besar untuk setiap daerah tertentu, misalnya gaya Solo dan gaya Yogya. Misalnya dalam gaya Solo, di hari "H"nya, di sore hari. Tamu yang datang paling awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan bisa dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk bersila di krobongan, dengan lantai permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya bagi keluarga mampu), sedang yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun berjajar di Pendopo (sekarang ini laki-laki dan perempuan bercampur di Pendopo semuanya). Para penabuh gamelan tanpa berhenti memainkan gending Kebogiro, yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang kedatangan pengantin laki-laki dimainkan gending Monggang. Tapi saat pengantin beserta pengiring sudah memasuki halaman rumah/gedung, gending berhenti, dan para tamu biasanya tahu bahwa pengantin datang. Lalu tiba di pendopo, ia disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua masih sejawat orang tuanya yang terpilih

Sementara itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun nganten (rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat pengantin pria tiba di rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga sudah siap keluar dari kamar rias), dengan iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki dituntun ke arah krobongan.
Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter, mereka saling melempar dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang, yang siapa saja melempar lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup perkawinannya akan menang selalu. Lalu yang laki-laki mendekati si wanita yang berdiri di sisi sebuah baskom isi air bercampur bunga. Di depan baskom di lantai terletak telur ayam, yang harus diinjak si laki-laki sampai pecah, dan setelah itu kakinya dibasuh dengan air bunga oleh si wanita sambil berjongkok. Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita menyelimutkan slindur/selendang yang dibawanya ke pundak kedua pengantin sambil berucap: Anakku siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang menjadi dua). Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan sang ayah sambil ditanya isterinya: Abot endi Pak ? (berat mana Pak ?), yang dijawab sang suami: Pada dene (sama saja). Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si laki-laki duduk sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si dukun pengantin membawa masuk sehelai tikar kecil berisi harta (emas, intan, berlian) dan uang pemberian pengantin laki-laki yang dituangkan ke tangan pengantin perempuan yang telah memegang saputangan terbuka, dan disaksikan oleh para tamu secara terbuka. Inilah yang disebut kacar-kucur.

Guna lambang kerukunan di dalam hidup, dilakukan suap-menyuap makanan antara pengantin. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang dengan cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan. Setelah itu, dilakukan acara ngabekten (melakukan sembah) kepada orang tua pengantin perempuan dan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki ke rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk dikrobongan dan disembah kedua pengantin).

Lalu setelah itu dilakukan kata sambutan ucapan terima kasih kepada para tamu dan mohon do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan berupa suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending ladrang wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara itu, dsb.nya.

Mati/Wafat

Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).
Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya), terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda.
 Sedangkan meskipun slametan orang mati, mulai geblak (waktu matinya), pendak siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule.

Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roch seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya.

Info Penting

Pengetahuan Umum

Olah Rasa

Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah.
***
Jejering wanita utama saka kasetyane marang garwa ,dene ajining priya utama saka kaprawirane.
***

Kadonyan kang ala iku ateges mung ngangsa-angsa golek bandha donya, ora mikirake kiwa tengene, uga ora mikirake kahanan batin.
***

Wong kang ora weruh tatakrama udanegara (unggah-ungguh) iku padha karo ora bisa ngrasakake rasa nem werna (legi, kecut, asin, pedhes, sepet, pahit.***

Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe.
***
See all post

Tokoh Pewayangan

Semar dan Punokawan

 Batara Semar  MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada... Read More �

See all post

Adat Istiadat

SURO

Kirab Pusaka Karaton Surakarta Kirap pusaka Karaton adalah tatacara Karaton Surakarta Hadiningrat yang dilaksanakan secara tetap pada se... Read More �

Cerita Pewayangan

Sejarah

Aqidah

Seni dan Sastra

 
Support : Creating Website | | Paknetyas
Copyright © 2011. Blog Paknetyas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Paknetyas
Proudly powered by Blogger