DALAM episode perjalanan mencari kesejatian hidup, Bima harus melawan rintangan berupa raksasa besar Rukmana Rukmakala dan seekor ular ganas di pantai selatan. Setelah pergulatan yang menegangkan, warrior itu (Bima) menang dan meraih kesejatian hidup saat bertemu Dewaruci yang membawanya pada suasana mistis yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kisah singkat ini merupakan ilustrasi ajaran etika yang menggambarkan keharusan prihatin dan berjuang tanpa lelah untuk mencapai tujuan hidup yang luhur. Hanya orang-orang yang punya ketulusan (sincerity), kejujuran (honesty), dan loyalitas pada cita-cita yang dapat berhasil sampai pada terminal akhir berupa "kesatuan" dengan Realitas Mutlak, yaitu Gusti Allah. Yang lain mungkin hanya sampai di subterminal dan tak tahu tujuan berikutnya atau bahkan tersesat di tengah jalan lalu menjadi gelandangan.
Terlalu filosofis memang, sehingga orang yang hanyut dalam euforia reformasi menjadi tidak mudheng, terutama kalangan yang suka pragmatis dan kadang-kadang terlihat tolol menyikapi keadaan secara instan saat ini dan di sini (here and now). Kekinian dan kedisinian inilah yang sering kali menelikung manusia melalui tindakan serba-ad hoc disertai nafsu yang semakin menjauhkannya dari hidup hakiki. Atas nama paradigma kekinian, segalanya akan diukur menurut kepraktisan dan manfaatnya bagi kesejahteraan banyak orang, makanya bom di Legian itu amat sangat menyakiti perasaan siapa saja yang masih menginginkan indahnya hidup yang layak dinikmati. Siapa pelakunya dan orang yang memiliki kaitan dengannya, akan diburu terus sampai ke liang kubur meskipun pekerjaan ini laksana mencari jarum jatuh di tumpukan jerami.
Kisah Bima yang diindikasikan telah muncul sebelum islamisasi Nusantara ini, pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari perjalanan spiritual pencari hakikat (salik) dalam dunia tasawuf menghadapi godaan dan rayuan yang harus diatasi dengan riyadah atau latihan rohani dan tirakat atau menahan nafsu. Keduanya dilakukan dengan jalan puasa yang hakikatnya adalah menahan diri dari dorongan nafsu menuju kejernihan batin dalam rangka meraih kemenangan saat Idul Fitri nanti. Jadi yang berlaku memang logika gentlemen yang ambisius untuk menang seperti Napoleon dengan jargonnya yang terkenal itu (vini vidi vici), bukan logika persepakbolaan nasional yang selalu bilang kalah menang soal biasa. Maka kemenangan merupakan buah dari kesungguhan dalam tirakat dan riyadah, bukan hadiah dari pak ustaz atau kiai.
Tirakat itu hakikatnya adalah kesadaran dan kesengajaan untuk bersusah payah atau sebuah perlawanan terhadap dorongan batin (desire) yang lazim ada dalam berbagai kehidupan spiritual. Jika orang ingin mencapai keunggulan batin seperti Panembahan Senapati di Mataram, maka diperlukan perlawanan terhadap nafsu (kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu). Atau sikap Yudistira yang tidak kumanthil (terikat) pada apa saja yang dimilikinya karena hakikat hidup hanyalah sebuah titipan yang harus dipelihara dengan baik, demikian juga harta (nyawa gadhuhan, bandha sampiran) yang harus dipelihara dalam waktu sekejap (saderma mampir ngombe). Diperlukan kesadaran penuh (jasmani dan rohani) supaya tidak menjadi orang plinplan esuk tempe sore dhele dan ngibulin Gusti Allah.
Fragmen kehidupan orang Jawa yang semestinya banyak berisi tirakat rupanya sedang mengalami pergeseran ke arah perilaku hedonis yang mengedepankan hedone (kenikmatan ragawi) sebagai ukuran idealitas yang harus dikejar. Pimpro harus memperoleh bagian dari pelaksanaan proyek meskipun mengurangi kualitas, legislatif lebih banyak mengedepankan performance (sinyalemen Nurcholish Madjid, Senayan sudah menjelma menjadi show room mobil mewah), wong cilik mengedepankan eksploitasi "ketertindasan" mereka sehingga cepat marah dan main geruduk atas nama rakyat tertindas. Kiai pun mulai menyukai gemerlapannya hidup yang berlawanan dengan pesan-pesan ilmu hakikat. Pendulum jam itu telah berayun dan gerak kebudayaan tak akan kembali ke masa silam hingga diperlukan kesadaran akan zaman yang sudah edan supaya orang arif tidak ikut-ikutan ngedan melainkan untuk jadi eling lawan waspada.
Nah, sikap Kirun dan Waldjinah, yang tak mau melayani order (tanggapan) selama Ramadan, boleh jadi merupakan contoh manusia Jawa melihat diri sendiri melalui tirakat. Mereka tak tergoda uang honorarium, sebaliknya malah menghabiskannya untuk menjamu buka puasa dan tarawih. Namun, boleh jadi mereka masih menjadi pemenang musiman saja, karena setelah lebaran order akan makin seru dan popularitas semakin melejit sebagaimana layaknya dunia selebritas. Meniru perilaku Bima atau Kanjeng Nabi, bagi sebagian orang Jawa boleh jadi laksana mengejar bayangan karena mereka terlalu tinggi untuk digapai seperti ungkapan Mangkunagara IV dalam Serat Wedhatama: "lamun sira paksa nulad tuladhaning Kanjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah" (kalau kalian memaksa diri mengikuti keteladanan Kanjeng Nabi, maka akan terlalu jauh langkahmu).
Karena itu, sering kali tirakat menjadi sebuah "jeda kemanusiaan" yang harus dilakukan susah payah seperti puasa seharian tetapi akan dibayar lunas manakala beduk magrib tiba, bahkan sering berlebihan sehingga makan sampai kemlekaren (terlalu penuh) dan menyergap istri sebelum habis menghitung tasbih. Lalu siapa yang paling beruntung ketika laku tirakat selama puasa itu selesai? Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jaminan termasuk para narasumber di televisi yang ngomong hingga mulutnya berbusa-busa itu itu. Wallahu a'lam bissawab. (72c)
Oleh Abdul Djamil
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !