Headlines News :
Home » , , » SASTRA JAWA DALAM PERJALANAN SEJARAH

SASTRA JAWA DALAM PERJALANAN SEJARAH

Written By Paknetyas on Friday, June 14, 2013 | 1:28 PM



Perjalanan sejarah sastra Jawa dapat ditelusuri dengan melihat koleksi naskah Jawa yang terdapat dalam pelbagai museum, terutama di museum Yogyakarta, Surakarta, Jakarta dan diluar negri yang banyak terdapat di Negeri Belanda. Dari pelbagai naskah itu kita akan jumpai naskah yang berupa Babad, Serat-serat, sastra pewayangan, sastra suluk.
Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya pada kisah Mahabrata dan Ramayana, suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dll.
Jenis sastra Jawa yang paling tua adalah Ramayana Kakawin dan kitab-kitab parwa yang menceritakan nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Meskipun kisah Ramayana dan Mahabarata berasal dari India, tetapi isi yang diambil oleh masyarakat Jawa adalah pada pertentangan antara yang baik dan yang buruk , yang berakhir dengan kemenangan yang baik. Ada 8 parwa yag dikenal, yaitu : Adiparwa, Wiathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Asramasaparwa, Mosalaparwa, Prathanikaparwa dan Swargarohanaparwa, yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada jaman raja Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur pada kahir abad ke 10. 

Sastra yang dipengaruhi India itu mendominasi dunia sastra Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kirab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil. Kalau pada jaman sebelum Majapahit tokoh-tokoh didalam karya-karya sastra yang ditonjolkan berupa tokoh mitologis, terutama tokoh yang diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana, maka pada jaman Majapahit tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah tokoh-tokoh sejarah. Baik tokoh yang hidup dan digambarkan secara riil maupun tokoh sejarah yang hidupnya telah diolah sebagai mitos, misalnya tokoh-tokoh dalam serat-serat Panji dan kitab Pararaton. 
Pada jaman Majapahit karya sastra mulai menggarap tokoh-tokoh sejarah yang pola kelakuannya bisa diteladani, seperti , Hayam Wuruk, Rati Tribuwana, Jayakatwang, Sora, Nambil dan sebagainya. 

Sastra piwulang 
Disamping karya sastra sejarah, pada jaman Majaphit muncul pula karya sastra piwulang yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab Nitisastra dan Dharmasunya. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan salah satu pembaharuan di bidang sastra Jawa. Pandangan masyarakat telah bergeser, bukan lagi terpusat pada individu sebagai elemen “jagad gedhe”, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai “jagad cilik”. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab diatas pada dasarnya menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri. 

Setelah Islam masuk, muncullah kitab suluk, kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab suluk mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi.. 

Pada jaman Islam ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitab-kitab yang berciri mitologi Islam seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitab Rengganis dan kitab Ambiya. Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak ke belakang. Lahir pula karya sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat Nitipraja, dan serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah. 

Metrum macapat 
Ketika stabilitas politik terjadi pada jaman Surakarta, para pujangga aktif dengan karya-karya sastranya, dan yang sangat menonjol adalah karya-karya dalam bentuk metrum macapat atau puisi macapat. Karya-karya Jawa Kuna seperti serat Batarayuda, Ramayana, Lokapala, Arjunasasrabau, Wiwahajarwa dirubah dalam bentuk puisi macapat. Demikian pula sastra piwulang, juga dibentuk dalam puisi macapat seperti serat Wicarakeras, Sanasusnu oleh Yasadipura II, Wulang Reh dan Wulang Sunu oleh Sri Sunan Paku Buwana IV, Wedhatama oleh Sri Mangkunegoro IV, serat Centhini oleh Sri Susuhunan Paku Buwono V. Bentuk metrum macapat ini juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti. Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. 

Pada jaman Surakarta ini juga muncul karya sastra yeng bersifat futuristik (ramalan) yang banyak digubah oleh pujangga Ranggawarsita, yang terkenal karena ramalannya dalam Serat Kalatidha. 
Pengaruh penjajahan Belanda juga terlihat pada karya-karya sastra pada masanya, terutama setelah berdirinya Balai Pustaka yang menerima naskah sastra Jawa. Ciri khusus dari sastra yang diterbitkan Balai Pustaka ialah tidak lagi mengambil peran tokoh-tokoh wayang, bukan pula tokoh raja-raja, melainkan dari tokoh imaginer dari masyarakat konkret.Pemecahan masalah tidak lagi dicari di alam kayangan atau wasiat adikodrati melainkan ditekankan pada masalah pendidikan,yang waktu itu telah dirintis di jaman penjajahan Belanda 

Masa keemasan sastra jawa 
Karya sastra jawa mengalami kebangkitan pada abad XVII dan XIX. Karya-karya itu ditulis dan digubah oleh para pujangga keraton, terutama Yogyakarta ( bekas Mataram ) dan Surakarta. Oleh karena itu pada zaman itu karya sastra mengalami perkembangan yang pesat, wajarlah jika Piegeud menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan sastra jawa.
Menurut perjalanan sejarah kesusasteraan jawa mengalami perkembangan akibat semakin menurunnya peran keraton dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hadirnya kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser kekuasaan politik keraton. Oleh karena kekuasaan keraton semakin terdesak dan campur tangan kompeni semakin mencengkram, seolah-olah keraton jawa kehilangan peran dan bahkan mencapai puncak krisis. Sehingga keraton lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusateraan.
Dalam perjalanan sejarah, pengaruh politik kompeni Belanda terhadap keraton jawa telah dimulai sejak kompeni Belanda memberi bantuan kepada keraton Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya sekitar tahun 1677-1680. Setelah Mataram berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya atas jasa kompeni, pihak Mataram memberikan fasilitas kemudahan kepada Belanda, antara lain, adalah diijinkan membangun benteng pertahanan di sekitar keraton. Akan tetapi, Mataram tidak menyadari bahwa sebenarnya Belanda adalah musuh dalam selimut. Bahkan urusan rumah tangga politik keraton, sampai pada persoalan pergantian tahta seperti patih dan bupati, Belanda tidak terlepas dari campur tangannya.
Pengaruh kompeni Belanda terhadap keraton jawa semakin besar dan memuncak sejak disetujuinya perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi keraton Matram menjadi dua yaitu, Yogyakarta dan Surakarta. Disamping menurunnya kekuasaan politik keraton akibat campur tangan pemerintah kolonial yang menyebabkan situasi keraton bertambah parah, situasi keraton bertambah kacau lagi akibat pengurangan wilayah-wilayah keraton oleh pemerintah kolonial. Akibat pengurangan wilayah itu sumber penghasilan keraton semakin sedikit, kemakmuran raja berkurang, dan rakyat semakin menderita.
Selang beberapa tahun kemudian pada masa koloni Inggris, pada tahun 1813, sebagian wilayah negaragung Yogyakarta diberikan kepada Adipati Pakualam karena jasanya membantu pemerintahan Inggris. Padahal setahun sebelumnya, tahun 1812, keraton Yogyakarta dan Surakarta dipaksa untuk menyerahkan negaragung Kedu kepada Inggris dengan alasan membantu Sultan Hamengkubuwana III naik tahta dan juga karena alasan Inggris telah melindungi wibawa sunan di Surakarta.
Pengaruh kekuasaan pemerintahan kolonial yang leluasa ini menyebabkan hubungan kaum bangsawan dengan orang-orang barat semakin terbuka. Sangatlah wajar jika penetrasi peradaban barat dengan mudah mengalir ke istana. Bahkan, karena ketergantungan keraton pada pemerintahan kolonial semakin tidak dihindari, maka pemerintahan kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik ekonomi raja dan bangsawan dikeraton sudah tidak ada lagi, maka tugas mereka dialihkan pada bidang kesenian dan kesusasteraan. Hal itulah yang disebut kesusateraan jawa mengalami perkembangan akibat mundurnya peran istana dalam bidang ekonomi dan politik.
Melihat situasi masyarakat yang semakin krisis tersebut, akhirnya para pujangga keraton menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan cara menulis dan mengubah sastra yang berisi ajaran, piwulang, dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagi tindakan antisipasi terhadap gejala-gejala krisis tersebut. Tindakan itu dilandasi oleh pikiran bahwa konteks masyarakat yang demikian, karya sastra berisi petunjuk-petunjuk berfunsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja.
Selain karya sastra diciptakan oleh pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan, juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional. Oleh karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘golongan atas’ dikeraton , melainkan juga untuk kalangan masyarakat luas. Yang berkenaan dengan tujuaan memenuhi kebutuhan golongan atas, biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan hidup kaum bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika. Namun jika diamati lebih jauh lagi, sebenarnya karya sastra yang menekankan bidang teologi dan etika itu tidak hanya dikonsumsi golongan atas saja tetapi juga untuk konsumsi seluruh masyarakat pada umumnya.(Sucipto Hadi Purnomo


Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Olah Rasa

Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah.
***
Jejering wanita utama saka kasetyane marang garwa ,dene ajining priya utama saka kaprawirane.
***

Kadonyan kang ala iku ateges mung ngangsa-angsa golek bandha donya, ora mikirake kiwa tengene, uga ora mikirake kahanan batin.
***

Wong kang ora weruh tatakrama udanegara (unggah-ungguh) iku padha karo ora bisa ngrasakake rasa nem werna (legi, kecut, asin, pedhes, sepet, pahit.***

Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe.
***
 
Support : Creating Website | | Paknetyas
Copyright © 2011. Blog Paknetyas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Paknetyas
Proudly powered by Blogger