Headlines News :

Latest Post

Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts

SASTRA JAWA DALAM PERJALANAN SEJARAH

Written By Paknetyas on Friday, June 14, 2013 | 1:28 PM



Perjalanan sejarah sastra Jawa dapat ditelusuri dengan melihat koleksi naskah Jawa yang terdapat dalam pelbagai museum, terutama di museum Yogyakarta, Surakarta, Jakarta dan diluar negri yang banyak terdapat di Negeri Belanda. Dari pelbagai naskah itu kita akan jumpai naskah yang berupa Babad, Serat-serat, sastra pewayangan, sastra suluk.
Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya pada kisah Mahabrata dan Ramayana, suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dll.
Jenis sastra Jawa yang paling tua adalah Ramayana Kakawin dan kitab-kitab parwa yang menceritakan nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Meskipun kisah Ramayana dan Mahabarata berasal dari India, tetapi isi yang diambil oleh masyarakat Jawa adalah pada pertentangan antara yang baik dan yang buruk , yang berakhir dengan kemenangan yang baik. Ada 8 parwa yag dikenal, yaitu : Adiparwa, Wiathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Asramasaparwa, Mosalaparwa, Prathanikaparwa dan Swargarohanaparwa, yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada jaman raja Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur pada kahir abad ke 10. 

Sastra yang dipengaruhi India itu mendominasi dunia sastra Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kirab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil. Kalau pada jaman sebelum Majapahit tokoh-tokoh didalam karya-karya sastra yang ditonjolkan berupa tokoh mitologis, terutama tokoh yang diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana, maka pada jaman Majapahit tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah tokoh-tokoh sejarah. Baik tokoh yang hidup dan digambarkan secara riil maupun tokoh sejarah yang hidupnya telah diolah sebagai mitos, misalnya tokoh-tokoh dalam serat-serat Panji dan kitab Pararaton. 
Pada jaman Majapahit karya sastra mulai menggarap tokoh-tokoh sejarah yang pola kelakuannya bisa diteladani, seperti , Hayam Wuruk, Rati Tribuwana, Jayakatwang, Sora, Nambil dan sebagainya. 

Sastra piwulang 
Disamping karya sastra sejarah, pada jaman Majaphit muncul pula karya sastra piwulang yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab Nitisastra dan Dharmasunya. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan salah satu pembaharuan di bidang sastra Jawa. Pandangan masyarakat telah bergeser, bukan lagi terpusat pada individu sebagai elemen “jagad gedhe”, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai “jagad cilik”. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab diatas pada dasarnya menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri. 

Setelah Islam masuk, muncullah kitab suluk, kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab suluk mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi.. 

Pada jaman Islam ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitab-kitab yang berciri mitologi Islam seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitab Rengganis dan kitab Ambiya. Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak ke belakang. Lahir pula karya sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat Nitipraja, dan serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah. 

Metrum macapat 
Ketika stabilitas politik terjadi pada jaman Surakarta, para pujangga aktif dengan karya-karya sastranya, dan yang sangat menonjol adalah karya-karya dalam bentuk metrum macapat atau puisi macapat. Karya-karya Jawa Kuna seperti serat Batarayuda, Ramayana, Lokapala, Arjunasasrabau, Wiwahajarwa dirubah dalam bentuk puisi macapat. Demikian pula sastra piwulang, juga dibentuk dalam puisi macapat seperti serat Wicarakeras, Sanasusnu oleh Yasadipura II, Wulang Reh dan Wulang Sunu oleh Sri Sunan Paku Buwana IV, Wedhatama oleh Sri Mangkunegoro IV, serat Centhini oleh Sri Susuhunan Paku Buwono V. Bentuk metrum macapat ini juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti. Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. 

Pada jaman Surakarta ini juga muncul karya sastra yeng bersifat futuristik (ramalan) yang banyak digubah oleh pujangga Ranggawarsita, yang terkenal karena ramalannya dalam Serat Kalatidha. 
Pengaruh penjajahan Belanda juga terlihat pada karya-karya sastra pada masanya, terutama setelah berdirinya Balai Pustaka yang menerima naskah sastra Jawa. Ciri khusus dari sastra yang diterbitkan Balai Pustaka ialah tidak lagi mengambil peran tokoh-tokoh wayang, bukan pula tokoh raja-raja, melainkan dari tokoh imaginer dari masyarakat konkret.Pemecahan masalah tidak lagi dicari di alam kayangan atau wasiat adikodrati melainkan ditekankan pada masalah pendidikan,yang waktu itu telah dirintis di jaman penjajahan Belanda 

Masa keemasan sastra jawa 
Karya sastra jawa mengalami kebangkitan pada abad XVII dan XIX. Karya-karya itu ditulis dan digubah oleh para pujangga keraton, terutama Yogyakarta ( bekas Mataram ) dan Surakarta. Oleh karena itu pada zaman itu karya sastra mengalami perkembangan yang pesat, wajarlah jika Piegeud menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan sastra jawa.
Menurut perjalanan sejarah kesusasteraan jawa mengalami perkembangan akibat semakin menurunnya peran keraton dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hadirnya kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser kekuasaan politik keraton. Oleh karena kekuasaan keraton semakin terdesak dan campur tangan kompeni semakin mencengkram, seolah-olah keraton jawa kehilangan peran dan bahkan mencapai puncak krisis. Sehingga keraton lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusateraan.
Dalam perjalanan sejarah, pengaruh politik kompeni Belanda terhadap keraton jawa telah dimulai sejak kompeni Belanda memberi bantuan kepada keraton Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya sekitar tahun 1677-1680. Setelah Mataram berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya atas jasa kompeni, pihak Mataram memberikan fasilitas kemudahan kepada Belanda, antara lain, adalah diijinkan membangun benteng pertahanan di sekitar keraton. Akan tetapi, Mataram tidak menyadari bahwa sebenarnya Belanda adalah musuh dalam selimut. Bahkan urusan rumah tangga politik keraton, sampai pada persoalan pergantian tahta seperti patih dan bupati, Belanda tidak terlepas dari campur tangannya.
Pengaruh kompeni Belanda terhadap keraton jawa semakin besar dan memuncak sejak disetujuinya perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi keraton Matram menjadi dua yaitu, Yogyakarta dan Surakarta. Disamping menurunnya kekuasaan politik keraton akibat campur tangan pemerintah kolonial yang menyebabkan situasi keraton bertambah parah, situasi keraton bertambah kacau lagi akibat pengurangan wilayah-wilayah keraton oleh pemerintah kolonial. Akibat pengurangan wilayah itu sumber penghasilan keraton semakin sedikit, kemakmuran raja berkurang, dan rakyat semakin menderita.
Selang beberapa tahun kemudian pada masa koloni Inggris, pada tahun 1813, sebagian wilayah negaragung Yogyakarta diberikan kepada Adipati Pakualam karena jasanya membantu pemerintahan Inggris. Padahal setahun sebelumnya, tahun 1812, keraton Yogyakarta dan Surakarta dipaksa untuk menyerahkan negaragung Kedu kepada Inggris dengan alasan membantu Sultan Hamengkubuwana III naik tahta dan juga karena alasan Inggris telah melindungi wibawa sunan di Surakarta.
Pengaruh kekuasaan pemerintahan kolonial yang leluasa ini menyebabkan hubungan kaum bangsawan dengan orang-orang barat semakin terbuka. Sangatlah wajar jika penetrasi peradaban barat dengan mudah mengalir ke istana. Bahkan, karena ketergantungan keraton pada pemerintahan kolonial semakin tidak dihindari, maka pemerintahan kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik ekonomi raja dan bangsawan dikeraton sudah tidak ada lagi, maka tugas mereka dialihkan pada bidang kesenian dan kesusasteraan. Hal itulah yang disebut kesusateraan jawa mengalami perkembangan akibat mundurnya peran istana dalam bidang ekonomi dan politik.
Melihat situasi masyarakat yang semakin krisis tersebut, akhirnya para pujangga keraton menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan cara menulis dan mengubah sastra yang berisi ajaran, piwulang, dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagi tindakan antisipasi terhadap gejala-gejala krisis tersebut. Tindakan itu dilandasi oleh pikiran bahwa konteks masyarakat yang demikian, karya sastra berisi petunjuk-petunjuk berfunsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja.
Selain karya sastra diciptakan oleh pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan, juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional. Oleh karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘golongan atas’ dikeraton , melainkan juga untuk kalangan masyarakat luas. Yang berkenaan dengan tujuaan memenuhi kebutuhan golongan atas, biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan hidup kaum bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika. Namun jika diamati lebih jauh lagi, sebenarnya karya sastra yang menekankan bidang teologi dan etika itu tidak hanya dikonsumsi golongan atas saja tetapi juga untuk konsumsi seluruh masyarakat pada umumnya.(Sucipto Hadi Purnomo


KAWRUH BASA

Written By Paknetyas on Thursday, June 13, 2013 | 4:58 PM



(ISTILAH-ISTILAH DALAM SASTRA JAWA)

Babad: Sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa. Digunakaan untuk pengertian yang sama dalam tradisi
sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita, sajarah [Jawa/Sunda], hikayat, silsilah, sejarah
[Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia
 
Bebasan: Ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan. 

Gancaran: Wacana berbentuk prosa. 

Gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
Gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau inti. 

Guru Gatra: Aturan jumlah baris tiap bait dalam puisitradisional Jawa [tembang macapat]. 
Guru lagu: [Disebut juga dhong-dhing] aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa. 
Guru Wilangan: Aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa. 

Janturan: Kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi
adegan. 

Japa Mantra: Mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan. 

Kagunan Basa: Penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif; ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan, bebasan, saloka, isbat, dan panyandra. 

Kakawin: Puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India; salah satu unsur
pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek [guru dan lagu]. 

Kidung: Puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap
baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu pola metrum. 

Macapat: Puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola susunan nada yang didasarkan  pada nada gamelan; secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,
yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma, pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung,
jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan girisa. 

Manggala: "Kata pengantar" yang terdapat di bagianawal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno
biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang
memerintahkan penulisan, serta--meskipun tak selalu ada--penanggalan saat penulisan dan nama penyair;
istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru. 

Pada: Bait 

Parikan: Puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun
[Melayu]. 

Parikan Lamba: parikan yang hanya mempunyaimasing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra
tebusan. parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan. 

Pepali: Kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup. 

Pupuh: Bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana berbentuk prosa. 

Panambang: Sufiks/akhiran 

Panwacara: Satuan waktu yang memiliki daur lima hari:
Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi). 

Paribasan: Ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan. 

Pegon: Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. 

Pujangga: Orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak
memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata
bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara
(pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang
'kasar' dan 'halus'), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam). 

Saloka: Ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel. 

Saptawara: Satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari:
Radite (Ngahad), Soma (Senen), Buda (Rebo), Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu). 

Sasmitaning Tembang:Isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh berikutnya. 

Sastra Gagrak Anyar: Sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan
perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya. 

Sastra Gagrak Lawas: Sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat
seperti--terutama--pembaitan secara ketat. 

Sastra Wulang: Jenis sastra yang berisi ajaran, terutama moral. 

Sengkalan: Kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen dengan angka secara konvensional. 

Singir: Syair dalam tradisi sastra Jawa.  

Sot: Kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya. 

Suluk: [1] Jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran gaib yang
bersumberpada ajaran Islam; [2] wacana yang dinyanyikan' oleh dalang dalam pergelaran wayang
untuk menciptakan  'suasana' tertentu sesuai dengan situasi adegan.  

Supata: Kata atau suara yang 'menetapkan kebenaran' dengan bersumpah.  

Tembung Entar: Kata kiasan, misalnya kuping wajan. 

Wangsit: Disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk
atau nasihat. 

Wayang Purwa: Cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon bersumber pada cerita
Mahabharata dan Ramayana. 

Weca: Kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa mendatang. 

Wirid: Jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.

Aksara Hanacaraka

DUMADINE AKSARA DJAWA (Bhs Jawa)
Ing jaman kuna, jamané Sang Prabu Ajisaka linggar saka praja marang tanah Jawa, panjenenganné
sawijining Nata kang seneng lelana, ngubengi bawana, didèrèkaké abdiné loro, yaiku si Surya lan si Candra. Kacarita lakuné wis tekan tanah Jawa, Sang Prabu Ajisaka lèrèn sawetara dina ana ing pèrènging Gunung Kendil. Benginé lagi éca-écané saré kagawa saka sayahé kaya diwungu déning sawijining kaki-kaki. Wungu banjur lenggah, mriksani kiwa tengenné ora ana kamliwering jalma, kajaba mung Surya lan Candra kang katon nglempus kepénak anggoné pada turu. Sang Ajisaka ora saré manèh nganti byar rahina.

Benginé manèh Sang Ajisaka kaya kena sirep japa mantra anggoné saré, nanging sajroning saré mau warna-warna impèné, antarané kaya dikon wungu lan diaturi mbacutaké tindaké déning wong kaki-kaki.

Mula saka iku bareng wanci bangun ésuk wis katon trontong-trontong, ramé swarané manuk kang manèka warna ocèh lan rupané, Sang Ajisaka nuli jengkar nerusaké tindaké, mung waé abdiné sing didawuhi ndèrèk mung siji, yaiku si Surya, déné si Candra didawuhi tetep ana ing kono perlu nunggu pusakané wujud wedung tinilar dipendem ana ing pèrènging Gunung Kendil, lan ninggal piweling marang Candra poma-dipoma pusakané yèn dijaluk sapa waé aja nganti diwènèhaké, kajaba panjenengané, si Candra matur sendika sarta prasetia arep netepi apa kang dadi dawuh Gustiné.

Kaya ana sing ngélingaké menawa sejatiné Sang Ajisaka wis tampa piweling déning Ramané: Poma-dipoma jèbèng sira aja pisan-pisan nganti pisah karo abdinira sakloroné, sarta aja nganti uwal ing pandelengé marang pusakamu yèn nedya ngudi lestarining Yuwana nir ing rubedaning sambékala telu-teluné.

Mula saka iku Sang Ajisaka geragapan penggalihé wusana pinikir, kajaba nuli énggal-énggal utusan marang Surya didawuhi bali menyang pèrènging Gunung Kendil papané si Candra, wigatiné njaluk pusakané wedung, lan diwanti-wanti aja nganti bali yèn durung nggawa pusakané.
Kocapa lakuné si Surya wis tekan panggonané si Candra, sakwisé bagé -binagé, Surya ngandakaké kang dadi perluné laku, diutus déning Gustiné kadawuhan njalukaké pusakané. Nanging Candra datan sawala tekadé, mangsuli puguh ora bakal mènèhaké pusaka marang Surya, saking setya tuhuné marang dawuh weling Gustiné …
Pusakaku wedung aja oleh yèn ta dijaluk sapa waé kajaba aku déwé.
Sarehning loro-loroné pada beneré, pada tampa dawuh Sang Ajisaka, kahana né Surya lan Candra tetep pada puguhé, ramé anggoné pada pepadon, netepi setya tuhuné marang Gustiné. Wusanané rembug nuwuhaké panca kara ramé banget marga kadigdayané pada pinulasing suci lan luhuring budiné. Wekasané kaya wus dadi pepestèning Jawata Kang Murbèng Jagad, Surya lan Candra sampyuh tumekaning pralaya.

Kacarita Sang Ajisaka anggoné ngantu-antu ngentèni tekané si Surya kok wis sawatara dina during teka, Ciptané: “Apa kesasar dalané, apa ana aral ing marga“. Sarwi ngleremaké sarira lan panggalihé, ora suwé banjur ènget piweling marang si Candra duk ing nguni arep ditinggal, datan sranta Sang Ajisaka énggal - énggal jengkar tindak gegancangan tumuju panggonané pendeman pusaka sing ditunggu déning Candra.

Bareng Sang Ajisaka tindaké wis tekan papan kang dituju, mak tratap sarta sumedot ing panggalih priksa kahanané abdiné loro pisan pada ngatang-atang, pada wis dadi bathang, nuli kaduwung sarta ènget panggalihé ngru mangsani luputé. Sang Ajisaka nuli asung puja lan puji sarta ngabekti nyuwun pangaksama kaluputané marang Pangéran Kang Maha Kuwasa, kang kasipat welas lan asih. Ora lali jisimé Surya lan Candra banjur kapetak ana papan tilas pendemané Wedung, dijèjèr sarta ditengeri kang wus kaprah ing wektu iku sinebut aksara Jawa ; yaiku :

Ha – na – ca – ra – ka - Da – ta - sa – wa – la 
Pa – da – ja – ya – nya - Ma – ga – ba – tha – nga 

Déné kersané Sang Ajisaka, Ha, na , ca, ra, ka, …………mau minangka tanda banget panarimané marga saka anggoné pada setya lan luhuring bebudèné abdiné Si Surya lan Si Candra nganti mbuktèkaké tumekaning patiné, mungguh tetenger mau werdiné :
Ha – na – ca – ra – ka = Ana utusan 
Da – ta – sa – wa – la = Dati sulaya 
Pa – da – ja – ya – nya = Pada digdayané 
Ma – ga – ba – tha – nga = Pada dadi bathang ( mati sampyuh ). 

Dikutip dari majalah “ ANEKA WARTA HIS “ Semarang ( Karangan Sumber M-S 010558 ) 


DKISAH TERCIPTANYA HURUF JAWA 
HA NA CA RA KA (Bhs Indonesia)

Alkisah di zaman dahulu kala seorang raja bernama Sang Prabu Ajisaka meninggalkan kerajaan dan menuju tanah Jawa, beliau adalah seorang raja yang senang bepergian, keliling dunia yang hanya diantar oleh dua orang pe- ngawalnya ialah Surya dan Candra. Setelah beberapa saat perjalanan beliau sampai ke tanah Jawa Sang Prabu beristirahat beberapa hari di atas lereng Gunung Kendil.

Malam hari pada saat beliau sedang menikmati tidur lelap karena kecapaian beliau terjaga seakan dibangunkan oleh seorang kakek tua. Beliau terbangun lalu duduk, melihat ke kiri dan ke kanan ternyata beliau tidak melihat seorang manusiapun di dekatnya kecuali hanya Surya dan Candra, terlena lelap, me- nikmati tidurnya. Namun Sang Ajisaka tidak tidur lagi hingga pagi hari. 

Pada malam harinya Sang Ajisaka terpengaruh oleh kantuk yang berat, di alam tidurnya beliau bermimpi bermacam-macam, antara lain beliau diminta oleh seorang kakek tua untuk bangun dan segera meneruskan perjalanan- nya. Karena telah pagi hari matahari mulai muncul di ufuk Timur ramai ter- dengar bermacam kicau burung, Sang Ajisaka segera bangun dan berangkat meneruskan perjalanannya.
Namun hanya seorang pembantunya saja yang ikut serta yaitu Surya, dan Candra diperintahkan agar tetap di tempat tersebut untuk menjaga pusakanya yang berupa sebuah pisau besar (wedung Jw) yang ditanam di atas lereng Gunung Kendil, dan beliau berpesan kepada Candra, bahwa benda pusaka tersebut jangan sekali-kali diserahkan kepada siapapun yang memintanya, kecuali hanya kepada beliau sendiri, 

Candra menjawab siap melaksanakan perintah Rajanya. Namun seakan-akan ada yang membisikkan kepada beliau bahwa Ayah Baginda Sang Raja pernah berkata apabila beliau ingin mendapatkan ketiga kesempurnaan hidup serta bebas dari segala mara bahaya, janganlah sekali-kali berpisah dengan kedua orang pembantunya tersebut dan jangan sekali-kali lepas pandangan nya dengan benda pusakanya.

Beliau segera tergagap berfikir harus segera memberi perintah kepada Surya untuk kembali ke lereng Gunung Kendil ke tempat Candra, untuk meminta benda pusaka beliau, dengan pesan bahwa jangan sekali-kali kembali apabila belum membawa benda pusaka tersebut.
Alkisah perjalanan Surya telah sampai ke tempat Candra; setelah saling bertutur sapa tentang keadaan masing-masing, Surya menerangkan tentang tugas yang diembannya yaitu diutus oleh Rajanya untuk meminta pusakanya.
Namun Candra tidak bergeming sedikitpun tekadnya, menjawab bahwa tidak akan menyerahkan pusaka tersebut kepada Surya karena dia tetap setia kepada titah Rajanja, bahwa pesannya ………………” pusaka jangan sekali-kali diserahkan kepada siapapun kecuali kepada saya sendiri. “
Karena masing-masing berpendirian benar, menerima perintah dari Sang Baginda Ajisaka, keduanya tetap teguh pendiriannya, saling berdebat bersilat lidah teguh setia terhadap perintah Rajanya. Berakhir dengan perkelahaian hebat karena keduanya mempunyai kesaktian yang sama dan berperangai suci serta luhur budinya. Akhirnya seperti telah terpateri laksana suatu suratan nasib yang tidak bisa berubah dari Tuhan Yang Maha Kuasa; Surya dan Candra keduanya gugur.
Alkisah Sang Ajisaka terkantuk-kantuk menunggu kedatangan Surya, yang telah beberapa hari belum juga pulang, beliau berfikir: “Apakah mungkin dia tersesat salah jalan atau terjadi kecelakaan menimpanya “ Sambil beristirahat dan berfikir, tak lama kemudian beliau teringat perintahnya kepada Candra pada saat akan meninggalkannya, beliau sangat terperanjat segera berangkat menuju ke tempat penanaman pusakanya yang ditunggui oleh Candra.

Ketika Ajisaka sampai di tempat yang dituju beliau sangat terperanjat serta amat pilu ketika melihat kedua orang pembantunya tergeletak telah menjadi mayat, dengan sangat sedih mengakui kesalahannya. Sang Ajisaka segera berdoa mohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa yang maha kasih dan maha pemaaf. Kemudian jasad kedua pembantunya dimakamkan di tempat bekas penanaman pusakanya, diletakkan sejajar dan diberi tanda seperti yang kini amat terkenal sebagai huruf aksara Jawa, ialah :

Ha – na – ca – ra – ka - Da – ta - sa – wa – la 
Pa – da – ja – ya – nya - Ma – ga – ba – tha – nga  

Maksud Sang Ajisaka, ha, na, ca, ra, ka tadi ialah sebagai ungkapan terima kasih yang tidak terhingga atas kesetiaan dan keluhuran budi yang luar bisa kedua orang pembantunya Surya dan Candra, yang dibuktikan hingga kedua- nya meningal dunia, tanda terima kasih tersebut mempunyai makna sebagai berikut : 

Ha – na – ca – ra – ka = Ada utusan 
Da – ta – sa – wa – la = Saling bertengkar
Pa – da – ja – ya – nya = Keduanya mempunyai kesaktian yang sama
Ma – ga – ba – ta – nga = Keduanya (wafat) menjadi mayat

Terjemahan bebas dari karangan Bahasa Jawa
“ Dumadine Aksara Jawa Ha Na Ca Ra Ka.”
( Kisah terciptanya huruf Jawa Ha Na Ca Ra Ka )
Dimuat di majalah Aneka Warta HIS
(Himpunan Insan Sejahtera) No. 48 Maret – April 91
Hal 11,12,13 Semarang -
Karangan : Sumber m-s 010558.


KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA 

Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah. 


Konsepsi secara tradisional. 
Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 ) 

Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka. 
Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni : 
1. Ha-na-ca-ra-ka 2. Da-ta-sa-wa-la 
3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga 

Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut : 
  • Dora goroh ture werdineki (Dora bohong ucapannya yakin) 
  • Sembada temen tuhu perentah (Sembada jujur patuh perintah) 
  • Sun kabranang nepsu ture (Ku emosi marah ucapannya) 
  • Cidra si Dora iku (Ingkar si Dora itu) 
  • Nulya Prabu Jaka angganggit (Lalu Prabu Jaka Menganggit) 
  • Anggit pinurwa warna (Anggit dibuat macam) 
  • Sastra kalih puluh (Sastra dua puluh) 
  • Kinarya warga lelima (Dibuat warga lelima) 
  • Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki (Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya) 
  • Pindho Da-ta-sa-wala (Dua Da-ta-sa-wala) 
  • Yeku sawarga ping tiganeki (Yaitu sewarga ketiganya) 
  • Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya (Pa-dha-ja-ya-nya sewargane) 
  • Ma-ga-ba-tha-nga ping pate (Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya) 
  • Iku sawarganipun (itulah sewarganya) 
  • Anglelima sawarganeki (Lima-lima satu warganya) 
  • Ran sastra sarimbangan (Nama sastra sarimbangan) 
  • Iku milanipun (Itulah sebabnya) 
  • Awit ana sastra Jawa (Mulai ada hufur Jawa) 
  • Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji (Mulai diberi harakat satu per satu) 
  • Weneh-weneh ungelnya (Macam-macam lafalnya) 

Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh. 

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut. 

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut : 
"Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung"

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung. 
Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta. 

Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI - pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit. 
Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan. 

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 - 6 ) 
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selain yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 ) 
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar. 

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut. 
Konsepsi secara Ilmiah 

Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung. 

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan. 

Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 - 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut : 
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ) 
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif. 
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Suluk Linglung Sunan Kalijaga Ngemot Tauhid lan Makrifat

Written By Paknetyas on Tuesday, June 11, 2013 | 12:49 PM

Anyar KatonBabadFlash - Posted by admin on March 9, 2012
Makame Kanjeng Sunan Bonang ing Tuban


Sunan Kalijaga, mujudake manggala, saka saweneh Wali Sanga, kang kaloka raket kelawan kaum muslim, karana ka­wegigane nglebokake pengaruh Islam, ing jroning tradhisi jawa.Akeh kang nela­kake, yen Kanjeng Sunan Kalijaga iku, yus­wa­ne, luwih saka 100 taun. Sunan Kalijaga kagungan andhil, sajrone peme­rintahan Majapahit, Kasultanan Demak, Kasultanan Cirebon, apadene Banten. Malah-malah uga Krajan Pajang, kang lair taun 1546, sarta kawitaning Krajan Ma­taram, kang pinarentah dening Panem­bahan Senopati.Kanjeng Sunan uga ndhe­rek ngrancang pembangunan Masjid Agung Demak. Saka “tatal”, mujudake sa­weneh pilar utama Masjid, mujudake kreasi Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga miyos, udakara taun 1450, kanthi asma Raden Said. Kanjeng Sunan, putra saka adipati Tuban, kekasih Tumenggung Wilatikta (ana saweneh kang nyebutake Wilwatikta), utawa Raden Sahur. Sunan Kalijaga, uga kagungan asma seje, kayadene: Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, apadene Raden Abdurrahman.
Bab asal-usul Kanjeng Sunan, ana sawetara penemu. Ana kang mratelakake, yen Kanjeng Sunan iku maksih keturunan Arab. Nanging, uga ora sithik, kang nan­dhesake, yen Kanjeng Sunan Kalijaga iku, Jawa asli. Van Den Berg, nelakake, yen Kan­jeng Sunan Kalijaga iku, (pancen) ke­turunan Arab, kang sarasilahe, nganti tekan Rasulullah SAW. Sawetara iku, mi­turut Babad Tuban, nelakake, yen Aria Teja aliyas “Abdul Rahman, wus kasil ng-Islam-ake Adipati Tuban, Aria Dikara, lan nikahi putrane. Saka perkawinan kasebut, nglair­ake putra, sesilih Aria Wilatikta. Miturut cathetan Tome Pires, panguwasa Tuban, taun 1500 Masehi, mujudake wayah saka panguwasa Islam kawitan, ing Tuban. Sunan Kalijaga aliyas Raden Mas Said, putra saka Aria Wilatikta. Sejarawan seje, kayadene De Graaf, mbenerake, yen Aria Teja, kagungan sarasilah kelawan Ibnu Abbas, paman dalem Kanjeng Nabi Muhamad SAW.

Suluk Linglung
Suluk Linglung riptane Kanjeng Sunan Kalijaga, awujud Sekar Kinanthi, sapupuh, kedadeyan saka 7 pada. Watake Sekar Kinanthi, yaiku: seneng, tresna, mathuk kinarya mulang-muruk, apadene sipat ang­gulawenthah, kang ngemu rasa tresna. Saperangan gedhe, galihing tembang kasebut, ngemot rasa Tauhid apadene Makrifat Dene Suluk Linglung kang wujud Tembang Kinanthi mau, yaiku:

Pada 1.
Birahi ananireku/aranira Allah jati/ tan ana kalih tetiga/ sapa wruha yen wus dadi/ ingsun weruh pesthi nora/ ngarani namanireki.
Saka kersa dalem Allah, andadekake wujudira, kanthi anane wujudira, mra­tandhani bab anane Allah kanthi sayekti. Mokal Allah iku sipat loro, apamaneh nganti cacah telu. Sok sopoa kang wus mangerteni sangkan paraning anane, mesthi iku wong mokal nedya nyungarake dhirine.

Besetane:
Yen Allah ngersakke sawiji-wiji, mung ngendika”kun-fayakuun”, mangka banjur ana wujud. Saweneh saka sipat wajib Allah, kang 20, kang sepisanan aran “Wujud”, kang maknane Allah iku ana. Allah minangka “Sang Kholiq”, dene ma­nungsa minangka (saweneh) “Makhluq” Kholiq, tegese kang nyipta, Makhluq, ka­siling ciptan. Ing kawitaning Surat Ikhlas, yen katerjemahake, maknane”Dhawuha sira Muhamad, yen Allah iku siji”. Dadi mokal, yen Allah iku ana loro, utawa telu. Ing kene diajap, manungsa supaya kuma­wula, lanngabekti/ngibadah marang Allah. Ing Surat Adz-Dzariyat, ayat 56, Allah paring dhawuh:”Lan Ingsun nyipta jin lan manungsa, mung supaya padha nyem­bah marang Ingsun”.
Ing kene mengku werdi, yen ma­nungsa minangka titah, kudu pana, lan rumangsa, yen ana kang anitahake. Ma­nungsa cinipta minangka makhluk kang saendah-endahe makhluk.Nanging yen ora pinter njaga drajat ke-insaniyahan-e, bakal didhunake sacendhek-cendheke drajat titah. Kejaba kang iman lan gelem ngamal sholeh.

Pada 2.
Sipat jamal ta puniku/ingkang kinen angarani/ pepakane ana ika/ akon ngarani puniki/ iya Allah angandika/ mring Muhamad kang kekasih.

Besetane:
Satuhune sipat bagus utawa endah tur pinuji, iku, yaiku sipat kang tansah mbu­didaya nyebutake, yen hakikate, anane dheweke, karana ana kang maujudake. Mangkono pangandikane dalem Allah, marang Muhamad kekasih Dalem. Allah iku Maha Endah, lan remen (marang) ka­endahan. Yen gelem metani kanthi njli­met, yektine ing saben epek-epeking ma­nungsa kiwa lan tengen iku, tinemokake angka Arab 18 lan 81, kang yen ka­gung­gung, ana 99, yaiku kang aran ”Asma’ul Husna”.

Pada 3.
Yen tan ana sira iku/ ingsun tan ana ngarani/ mung sira ngarani ingwang/ dene tunggal lan sireki/ iya ingsun iya sira/ aranira aran mami

Besetane:
Yen tan ana sipat titah, ya durung katon araning sipat kang hanitahake. Karana ana sipating titah, banjur ketemu kang hanitahake. Gampanging kandha, ana wujud barang, mesthi ana kang nyipta, utawa ana kang gawe. Karana ananing sira (kang wujud manungsa), mangka ya manungsa kang nyebut marang Ingsun. Ya Ingsun Allah kang nyipta sira (kang wujud manungsa). Wujudira, mracihna­kake wujud Ingsun (Allah).
Kita minangka titah, kudu eling ma­rang kang hanitahake. Keplasing tumrap tata ngelmu pasrawungan sosial, yen sira rumangsa tinuntun dening lelabuhaning sepadha-padha, sawise sira kasil dadi wong kang mulya, aja lali marang lelabuh­an kasebut, (senajan upamane, kang lelabuh, ora njaluk pinwales). Ana unen-unen, yen sira ngeyub ana sangisor­ing wit kang gedhe (tur eyub), aja lali marang kang nandur wit kasebut.

Pada 4.
Tohid hidayat sireku/ tunggal lawan Sang Hyang Widhi/ tunggal sira lawan Allah/ uga donya uga akhir/ rumangsa­nana pangeran/ ya Allah ananireki.

Besetane:
Pituduh bab anane Allah Kang Sipat Siji, iku nyawiji apadene manunggal marang Allah, tansah cecaketan marang Allah (taqarruban illallah), iman iku nalika isih ana alam donya, apadene mengkone sawise ana alam kasedan jati. Lan kudu rumangsa yen Allah iku ana ing hangga­nira.
Pada iki mengku pasemon, yen sawise katitahake, manungsa kudu manembah marang kang hanitahake. Yaiku kanthi mbudidaya, tansah nindakake apa dhawuh dalem Allah, lan mbudidaya, nyingkiri, apa kang dilarang dening Allah, lan yaiku kang ingaran taqwa. Allah iku didohi, ya sang­saya adoh, dicedhaki, ya sangsaya cedhak. Tembung manunggal, utawa nyawiji, ing kene mengku werdi, supaya manungsa tansah cecaketan marang Allah, tegese tansah eling (dzikir) marang Allah, wiwit ana donyane, jalaran, sawise mati, wus mung kari nampa wohing pakarti nalika ana donyane. Kabeh pakarti kang ana donya, bakal diundhuh ana akherat.

Pada 5.
Ruh idhofi neng sireku/ makrifat ya den arani/ uripe ingaran syahdat/ urip tunggil jroning urip/ sujud rukuk panga­sonya/ rukuk pamore Hyang Widhi.

Besetane:
bab Ruh Idhofi. Ing jagading Ngelmu Kebatinan, ing jroning badaning manungsa tinemokake ruh cacah 9, yaiku Ruh Idhofi, Ruh Robbani, Ruh Rohani, Ruh Nurani, Ruh Kudus, Ruh Rohmani, Ruh Jasmani, Ruh Nabati lan Ruh Haya­wani. Dene tembung Makrifat. Makrifat, yektine saka aksara Arab, utawa panulise Ma’rifat. Ma’rifat, saka tembung ya’rifu-irfan- ma’rifat, kang tegese kawruh, utawa pengalaman.
Nanging uga bisa dimaknani kawruh bab rahasia hakikating agama, yaiku ngelmu kang luwih manjila, katimbang ngelmu padatan umume, mligine, kang magayutan, kelawan batiniyyah. Uripe ing­aran syahdat. Tinulis, “syahdat”, (wutuhe “syahadat”), karana kanggo njum­buhake guru wilangan, ing saben gatra, tumrap tembang kasebut, ing kene mengku teges, manungsa minangka seksi, apadene anekseni, yen setuhune ora ana pangeran kejaba Allah, lan Nabi Muhamad minangka utusan Allah. Sawise ngucapake kalimah syahadat Tauhid lan syahadat Rasul, urip tunggil jroning urip, uripe, yekti mung angakoni syarengat sawiji, banjur, sujud rukuk pangasonya. Tegese, pepaese, kanthi nindakake pang­ibadahan kanthi sholat. Nindakake sholat, ateges, (mbudidaya), tansah cecaketan kelawan Allah SWT.

Pada 6.
Sekarat tan ana nyamur/ ja melu, yen sira wedi/ lan ja melu-melu Allah/ iku aran sakaratil/ ruh idhofi mati tan na/ urip mati mati urip.

Besetane:
Ruh Idhofi, uga winastan “Johal awal suci”. Manut kapitayan, ya karana Ruh Idhofi, manungsa bisa urip. Yen Ruh ka­sebut, uwal saka badane manungsa, mangka manungsa bakal nemahi tiwasRuh kasebut, mujudake Ruh utama, kang duwe wenang mrentah ruh sejene. Mula ing ngarep kasebutake “tan ana nyamur”, tegese ora sisib. Ja melu yen sira wedi.Ana unen-unen “Yen wedi aja wani-wani, yen wani, aja wedi-wedi”. Iku nari karep­ing ati. Yen ana piweling lan ja melu-melu Allah, tegese, yen nedya “melu” Allah, ya aja nganggo mamang, tegese, temen-temen ndherek dhawuh, lan nyingkiri larang­an. Sakaratil, yaiku titimangsa, tetkala­ne manungsa meh ajal. Ya iku kang padha diwedeni. Nanging, tumrap kang wus iman, anane mung pasrah, karana umur manungsa, iku uga kagungan Ndalem Allah. Urip mati, mati urip. Ing kene, jlentrehe, yektine mati iku, dudu pungkasaning urip, nanging purwakaning urip langgeng. Tegese, ing mengkone, sawise mati, bakal ana urip candhake, yaiku alam seje kang langgeng, nalika ma­nungsa tekan titimangsa ngundhuh wohing pakarti nalika ana donya, ya kang ingaran alam akherat. Ing kana ma­nungsa bakal nampa siksa apa nugraha, gumantung pokale.

(Ana Candhake)
Winastan Suluk Linglung
Raden Mas Said, ya Kanjeng Sunan Kalijaga, nalika iku, wus golong-gilig penggalihe, nedya ngupadi ngelmu kang dadi gegebengane para Nabi. Lan kasumyatan Sunan Kalijaga nalika iku, wus kasil mancat tataran tauhid kang dhuwur.
“Lurua ngelmu, senajan kudu nyabrang segara geni…!!” ngono dhawuh dalem Kanjeng Nabi. Raden Mas Said, nalika semana, penggalihe, tinalasak rasa mamang lan bingung. Kayadene Linglung lan kalimput penggalihe. Jalaran, kabeh ngelmu kang wus dimangerteni, dipahami, lan dingamalake, kanthi kebak rasa kumawula marang Allah, nanging Raden Mas Said (rumangsa) isih gampang kagiri godha dening napsune, lan (malah), kayadene, ora kuwawa nduwa. Maneka werna kupiya, wus katindakake, murih uripe mengkone, bisa nglerem pamothahing napsune, aja nganti nglantur, kang mung kayadene rumangsa marem, mung dhahar lan sare Nanging Raden Mas Said, tetep wae, kayadene, penggalihe kalah perang nglawan napsune. Puntone Kanjeng Sunan pasrah marang Allah, karana ya mung Allah, minangka pungkasaning pepasrah.
Kanjeng Sunan nyuwun marang Allah, supaya penggalihe enggal kabukak, murih penggalihe dadi istiqomah, jumbuh kelawan pangajabing penggalih, tumuju menyang dalan sembahlan puji. Kanjeng Sunan tan kendhat tansah manekung kebak ing pandonga, senajan sinartan rasa-rumangsa, yen manungsa, ora bisa uwal saka dosa, kang tinindakake duk rikala taruna, kang mbokmenawa Allah durung kepareng paring pangapura. Senajan wus sawetara anggone nindakake bab kasebut, ewasemono, kok kayadene durung ana pratandha yen dongane pinaringan Kabul. Tundone Kanjeng Sunan mawar-dhiri. Yagene kok laku-lampah kang kang wus katindakake semono lawase, kok hidayah saka ngersa dalem Allah durung tumurun. Apa ana saweneh laku-lampah kang luput?
Tekan tataran wektu kasebut, Kanjeng Sunan anane mung kendel/ meneng. Piyambake banjur “uzlah” (ninggalake prekara donyawiyyah). Woh saka laku-lampah kang keri iku, kaya dene ana wewisik. Ing penggalihe, kayadene ana suwara cacah loro kang dumeling, yaiku siji suwara Malaikat, siji suwara syetan, kang padha pepadon. Senajan suwara mau serone ora kaya lumrahe pepadon, nanging kukuh ora ana lerene. Kanjeng Sunan uga sadhar, yen perkara ala lan becik iku, wus sak pase, yen padha rebut papan, rebut unggul.
Gandheng rumangsa yen laku-lampah uzlah, durung ana tandha-tandha yen tumurun pituduhe Allah, tundhone Kanjeng Sunan anteb-anteban, nedya nindakake laku ngothongake padharane, tegese nindakake ngelih-ngelak. Bubar iku, Kanjeng Sunan protes lan nagih marang Allah “opahe” laku-lampah kasebut. Nanging Allah kayadene mung kendel, ora paring jawaban.
“Lha iya wus samesthine ta ya, yen aku nagih marang Allah, sengara kaparingan wangsulan, wong Allah pancen ora utang…!! Lha ya sengara nglunasi ta ya,… wah…!!!” ngono pangandikane ana penggalihe Kanjeng Sunan. Puntone Kanjeng Sunan mutusake, yen nedya meguru marang Sunan Bonang. Temenan. Kanjeng Sunan sawise iku, banjur nindakake laku sumingkir, ing desa Bonang. Kanjeng Sunan banjur nglebur tapak asta, lan nyuwun supaya didunungake marang hakekating urip kang haqiqi. Dening Sunan Bonang, Sunan Kalijaga kadhawuhan mangsah semedi, nindakake tapa-brata, sarana nunggoni wit gurda, lan ora dikeparangake jugar, sadurunge kadhawuhan jugar.
Wiwit wektu iku, kanjeng Sunan, dadi priyayi kang tuhu ngedap-edapi. Kekarepane kang teguh santosa, kang tanpa kendhat ambudidaya, mula ora mokal, karana idin saka Ngarsa Dalem Allah SWT. Wiwit iku uga rasa “ling-lang-ling-lung” baka sithik bisa uwal saka hanggane Kanjeng Sunan.
Kejaba iku, karana Kanjeng Sunan uga maksih turun priyayi adharah luhur, yaiku putra saka Kanjeng Adipati Tuban, ya panjenengane Wilatikta. Ya karana kawitane saka rasa“ling-lang-ling-lung”, mula wewarah kasebut winastan Suluk Ling-lung.


Anyar KatonBabadFlash - Posted by admin on March 20, 2012
Makam Sunan Kalijaga, ora sithik kang padha sujarahan

Raden Mas Said, ya Kanjeng Sunan Kalijaga, nalika iku, wus golong-gilig penggalihe, nedya ngupadi ngelmu kang dadi gegebengane para Nabi.
 Lan kasunyatan Sunan Kalijaga nalika iku, wus kasil mancat tataran tauhid kang dhuwur.
“Lurua ngelmu, senajan kudu nyabrang segara geni…!!” ngono dhawuh dalem Kanjeng Nabi. Raden Mas Said, nalika semana, penggalihe, tinalasak rasa mamang lan bingung. KayadeneLinglung lan kalimput penggalihe. Jalaran, kabeh ngelmu kang wus dimangerteni, dipahami, lan dingamalake, kanthi kebak rasa kuma­-wula marang Allah, nanging Raden Mas Said (rumangsa) isih gampang kagiri godha dening napsune, lan (malah), kayadene, ora kuwawa nduwa. Maneka werna kupiya, wus katindakake, murih uripe mengkone, bisa nglerem pamo-thahing napsune, aja nganti nglantur, kang mung kayadene rumangsa marem, mung dhahar lan sare Nanging Raden Mas Said, tetep wae, kayadene, penggalihe kalah perang nglawan napsune. Puntone Kanjeng Sunan pasrah marang Allah, karana ya mung Allah, minangka pungkasaning pe-pasrah.
Kanjeng Sunan nyuwun marang Allah, supaya penggalihe enggal ka-bukak, murih penggalihe dadi istiqo-mah, jumbuh kelawan pangajaping penggalih, tumuju menyang dalan sembah lan puji. Kanjeng Sunan tan kendhat tansah manekung kebak ing pandonga, senajan sinartan rasa-ru-mangsa, yen manungsa, ora bisa uwal saka dosa, kang tinindakake duk rikala taruna, kang mbokmenawa Allah du-rung kepareng paring pangapura. Se-najan wus sawetara anggone nindaka-ke bab kasebut, ewasemono, kok kaya-dene durung ana pratandha yen dongane pinaringan Kabul. Tundhone Kanjeng Sunan mawas-dhiri. Yagene kok laku-lampah kang kang wus katindakake semono lawase, kok hida-yah saka ngersa dalem Allah durung tumurun. Apa ana saweneh laku-lam-pah kang luput?
Tekan tataran wektu kasebut, Kan-jeng Sunan anane mung kendel/me-neng. Piyambake banjur “uzlah” (ning-galake prekara donyawiyyah). Woh saka laku-lampah kang keri iku, kaya dene ana wewisik. Ing penggalihe, kayadene ana suwara cacah loro kang dumeling, yaiku siji suwara Malaikat, siji suwara syetan, kang padha pepadon. Senajan suwara mau serone ora kaya lumrahe pepadon, nanging kukuh ora ana lerene. Kanjeng Sunan uga sadhar, yen perkara ala lan becik iku, wus sak pase, yen padha rebut papan, rebut unggul.
Gandheng rumangsa yen laku-lam-pah uzlah, durung ana tandha-tandha yen tumurun pituduhe Allah, tundhone Kanjeng Sunan anteb-anteban, nedya nindakake laku ngothongake padhara-ne, tegese nindakake ngelih-ngelak. Bubar iku, Kanjeng Sunan protes lan nagih marang Allah “opahe” laku-lam-pah kasebut. Nanging Allah kayadene mung kendel, ora paring jawaban.
“Lha iya wus samesthine ta ya, yen aku nagih marang Allah, sengara kapa-ringan wangsulan, wong Allah pancen ora utang…!! Lha ya sengara nglunasi ta ya,… wah…!!!” ngono pangandikane ana penggalihe Kanjeng Sunan. Punto-ne Kanjeng Sunan mutusake, yen nedya meguru marang Sunan Bonang. Temen-an. Kanjeng Sunan sawise iku, banjur nindakake laku sumingkir, ing desa Bonang. Kanjeng Sunan banjur nglebur tapak asta, lan nyuwun supaya didu-nungake marang hakekating urip kang haqiqi. Dening Sunan Bonang, Sunan Kalijaga kadhawuhan mangsah semedi, nindakake tapa-brata, sarana nunggoni wit gurda, lan ora dikeparangake jugar, sadurunge kadhawuhan jugar.
Wiwit wektu iku, kanjeng Sunan, dadi priyayi kang tuhu ngedab-edabi. Kekarepane kang teguh santosa, kang tanpa kendhat ambudidaya, mula ora mokal, karana idin saka Ngarsa Dalem Allah SWT. Wiwit iku uga rasa “ling-lang-ling-lung” mbaka sithik bisa uwal saka hanggane Kanjeng Sunan.
Kejaba iku, karana Kanjeng Sunan uga maksih turun priyayi adharah luhur, yaiku putra saka Kanjeng Adipati Tuban, ya panjenengane Wilatikta. Ya karana kawitane saka rasa“ling-lang-ling-lung”, mula wewarah kasebut winas-tan Suluk Ling-lung. (Cuthel)

(Sumber : Majalah Panjebar Semangat)

Info Penting

Pengetahuan Umum

Olah Rasa

Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah.
***
Jejering wanita utama saka kasetyane marang garwa ,dene ajining priya utama saka kaprawirane.
***

Kadonyan kang ala iku ateges mung ngangsa-angsa golek bandha donya, ora mikirake kiwa tengene, uga ora mikirake kahanan batin.
***

Wong kang ora weruh tatakrama udanegara (unggah-ungguh) iku padha karo ora bisa ngrasakake rasa nem werna (legi, kecut, asin, pedhes, sepet, pahit.***

Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe.
***
See all post

Tokoh Pewayangan

Semar dan Punokawan

 Batara Semar  MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada... Read More �

See all post

Adat Istiadat

SURO

Kirab Pusaka Karaton Surakarta Kirap pusaka Karaton adalah tatacara Karaton Surakarta Hadiningrat yang dilaksanakan secara tetap pada se... Read More �

Cerita Pewayangan

Sejarah

Aqidah

Seni dan Sastra

 
Support : Creating Website | | Paknetyas
Copyright © 2011. Blog Paknetyas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Paknetyas
Proudly powered by Blogger